-->

Monday, November 9, 2020

Merajut Harmoni, Memblok Intoleransi

 

Bagimu agamamu, bagiku agamaku.

Bagimu agamamu, bagiku kau saudaraku.


Sepertinya perihal intoleransi beragama masih akan terus berlangsung lama. Bukan karena pesimis, namun sikap kita acap kali keliru atas apa yang musti dilakukan jika hal demikian selalu terjadi. Gesekan-gesekan yang tidak pernah perlu, kadang kala menyulut kemarahan dan berujung pada tindakan yang membabi buta tanpa pernah disertai pertimbangan. Sebegitu susahkah hidup berdampingan jika kita berbeda keyakinan? 


Misalnya belakangan ini sumber “api”, Perancis tak hentinya menyulut kemarahan umat muslim sedunia. Setelah majalah Charlie Hebdo beberapa tahun silam dikecam karena telah nekat menerbitkan karikatur Nabi Muhammad SAW. kini giliran seorang guru sejarah dan geografi, Samuel Paty, tewas dipenggal oleh seorang remaja berusia 18 tahun, Abdullah Anzorov. Namun pada akhirnya pemuda tersebut juga tewas ditembak petugas kepolisian karena dianggap melawan ketika diamankan. Setelah kejadian ini, polisi bergerak cepat dengan menahan sembilan orang yang dianggap bertanggungjawab, empat diantaranya merupakan kerabat Anzorov dan salah satu dari lima orang yang tersisa adalah orang tua murid yang membeberkan identitas guru. 


Atas semua yang terjadi warga Perancis turun ke jalan dan mengecam tindakan anak muda tersebut dengan dalih kebebasan berekspresi di negaranya sendiri. Turut pula Emmanuel Macron, presidennya menyampaikan perasaan duka paling mendalam atas kepergian sang guru yang disebut penuh dengan dedikasi itu, pun ia mengatakan bahwa Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis saat ini di seluruh dunia. Bukannya berusaha mendinginkan situasi, ucapan tersebut layaknya menyiram api dengan bensin, sontak menuai kritik dan dianggap telah mengeneralisasi umat muslim. Maka muncullah tindakan pemboikotan terhadap produk Perancis dan pengecaman yang dilakukan oleh beberapa pemimpin negeri, termasuk Turki dan Indonesia. 


Berbicara tentang pemboikotan, tindakan tersebut mendapat respon yang berbeda-beda dikalangan masyarakat. Ada yang menyebut percuma ada juga yang terang-terangan mendukung karena menurutnya hal itu sudah tepat untuk dilakukan. Terbukti Danone sebuah perusahaan asal prancis harus menerima dengan lapang dada ketika harga sahamnya anjlok seketika. Namun, disamping pemboikotan, di sisi lain kita juga perlu vocal terhadap tindakan pemuda yang langsung menebas sang penyulut keributan. Ingat, menggambar Nabi salah, membunuh juga salah, dua hal yang salah tidak akan membuat salah satunya benar. 


Di sini kita lupa menggarisbawahi bahwa agama Islam yang telah kita yakini adalah agama yang penuh dengan aturan. Segala tindakan dengan hanya main hakim sendiri jelas tak pernah dibenarkan. Membela Nabi dengan menghilangkan nyawa orang lain jelas tak pernah dicontohkan dari Baginda yang katanya kita cintai, membela dengan menghilangkan nyawa orang lain tak pernah halal untuk dilakukan sama sekali.


Kita perlu mengingat kembali, bahwa semasa hidup Rasulullah SAW. cacian dan hinaan acap kali Beliau dapatkan dari para pembencinya.  Seperti kisah seorang Yahudi buta dan tua gemar sekali mencaci Baginda Rasul. Ia selalu menolak atas apa yang disampaikan oleh Rasulullah dengan cara yang paling kasar, mulai dari mengumpat, meludahi, dan menyebarkan ke seantero negeri untuk turut pula membenci Rasulullah. Namun apa yang Rasulullah balaskan, ialah balasan kebaikan. Ia dengan setia memberinya makan, menyuapinya dengan lembut, dan jika ada daging yang terlalu keras, ia suwir dagingnya agar Yahudi buta tak kesulitan memakannya. Sampai ketika pada suatu hari bukan Nabi yang menyuapinya, melainkan Abu Bakar yang kebetulan  lewat. Kemudian Yahudi buta tersebut merasakan perangai yang berbeda dan juga tangan yang tak biasa, lantas bertanya:

“Ini bukan tangan yang biasa menyuapiku. Kemana laki-laki yang biasa menyuapiku?”

“Ia sedang ada urusan, Tuan.”

“Siapa sesungguhnya laki-laki yang setiap hari memberiku makan itu?” 

“Ia Rasulullah, Muhammad SAW.”

Yahudi buta tersebut lantas menangis dan menyesali semua perbuatannya. Pada akhirnya, Ia memeluk Islam ditangan Sayyidina Abu Bakar melalui  petunjuk iman lewat akhlak Sang Rasul. Akhlak yang lebih dari perisai tetapi sudah menjadi pakaian indah sehari-hari. 


Kisah lainnya, saat Rasulullah melewati sebuah gunung lantas dilempari dengan batu oleh pembencinya, gunung tersebut langsung berkata “Ya Rasulullah berdo’alah agar saya bisa membalas atas tindakan mereka terhadapmu dengan melemparkan balik batu-batu yang ada diatasku ini.” Rasulullah kemudian menjawab, “jangan, sebab mereka akan terluka”. Lihat betapa sabarnya dan berlaku adilnya Rasulullah tidak hanya kepada mereka yang menyukainya tapi juga kepada mereka yang membencinya. Kita semua pasti menyadari bahwa mengingat akhlak Rasulullah adalah mengingat sesuatu yang terlampau tinggi dan barangkali terlalu jauh untuk kita gapai, namun bukan berarti kita serta-merta menampik konsep dari keteladanan itu sendiri.


Saya ingat, ketika teman saya yang beragama Kristen Katolik, seorang pemuda yang rajin sekali ke gerejanya juga aktif dengan kegiatan organisasi kerohanian, ditengah-tengah forum rapat pernah bertanya begini, “saya heran dalam agamamu Nu, bahwa surga terlalu sempit untuk dihuni bersama”. Pada saat itu saya tidak mengerti dan bertanya balik tanpa diikuti rasa amarah sedikit pun “Apa maksudmu Gar?” dia melanjutkan “iya, saya dengar surgamu pada akhirnya hanya diisi bagi mereka yang pandai berbahasa Arab saja.” Saya mulai mengerti maksud dari kekeliruannya, dan kemudian saya pun menjawabnya, dengan sependek pemahaman saya, 

“Sebenarnya Gar, masuk surganya seseorang tergantung hanya satu, ialah apa yang disebut dengan Ridho Allah SWT. Jika Tuhan kami menerima, seburuk-buruknya ia dimata orang lain, maka tidak ada halangan untuk itu, sebab Tuhan kamilah yang Maha Berkehendak. Hati seorang manusia, jelas yang bisa menilai hanyalah Pencipta hati itu sendiri.” 

Ia kemudian melanjutkan. 

“Saya dengar juga kalian memanggil kami dengan sebutan orang kafir, sebenarnya kami juga punya sebutan bagi kalian, yakni domba yang tersesat” 

“iya benar, sebutannya kafir, dan sebutan untuk domba itu tidak masalah bagi kami. Kami menghormati apa yang kalian yakini Gar.”

Dan sampai saat ini, Dia sudah menjadi teman saya berdiskusi baik masalah yang sedang terjadi dalam kehidupan kampus, maupun berdiskusi tentang kepercayaan kami masing-masing, tentang perbedaan katolik dan protestan, konsep tritunggal, Bunda Maryam, dan hari natal. Di sini saya mulai paham, bahwa saya butuh lebih banyak percakapan, butuh lebih banyak ruang diskusi tentang apa yang menjadikan kita satu sama lain dikatakan berbeda. Bukan hanya tentang Katolik, juga tentang  protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, dan kepercayaan lainnya. Karena diskusi tidak akan membuat kita terkontaminasi, tetapi akan semakin memperkaya dan memperkuat tentang apa yang kita yakini. 


Harmoni keberagaman nyatanya bisa saja dilahirkan lewat dialog-dialog yang ujungnya akan menumbuhkan sikap memahami dan menghormati. Dengan dialog maka tak bisa dipungkri, kita satu sama lain akan terus belajar mencari tahu tentang agama kita sendiri dan mulai mengerti tentang kepercayaan mereka. Tanpa dialog, siapa yang bisa menjamin bahwa di hari raya Nyepi, suara adzan masjid sejenak dilakukan dengan suara lirih, tanpa dialog siapa yang bisa menjamin tak ada kendaraan yang berlalu lalang saat kaum muslim tumpah ruah shalat ied di jalanan, tanpa dialog siapa yang bisa menjamin sekelompok remaja besedia menjaga pintu gereja saat temannya sedang beribadah natal, tanpa dialog siapa yang bisa menjamin seorang pemuda asrama minta dibangunkan sahur oleh temannya yang beragama Kristen. Dialog yang tanpa disertai sedikit pun sikap sinis, diskriminatif, merasa paling benar sendiri dan paling baik derajatnya, akan menumbuhkan sikap saling menghargai, saling memahami, dan mulai mengerti bahwa kebebasan berekspresi juga tetap harus diikuti dengan sikap tanggungjawab, yang tidak serta merta melecehkan simbol agama tertentu, tidak lagi mudah mencaci maki apa yang sejatinya sudah menjadi kepercayaan masing-masing dengan sepenuh hati.


Kita perlu merenungi apa yang pernah dikatakan oleh Bunda Teresa, seorang biarawati Katolik dan misionaris India, yang telah mendedikasikan hidupnya merawat kaum papa, di suatu hari saat sedang memandikan anak gelandangan di pinggir sungai Gangga, beliau bertanya,

"Mengapa dua orang yang bermusuhan harus berteriak satu sama lain padahal mereka berdekatan?" Ia pun menjawab dengan sendirinya "Sebab hati mereka berjauhan." 


Mungkin, mengapa intoleransi masih membumi sebab kita masih menutup kuping untuk mendengar satu sama lain, masih enggan membuka mulut untuk bersuara tentang perdamaian dalam keberagaman, masih egois memandang mereka adalah sesuatu yang salah dan kitalah yang paling benar, padahal mereka sedekat genteng rumah, sedekat meja tempat kerja, di gerbong kereta, maupun sekolah. Nyatanya, sesederhana bertanya kabar, sedikit demi sedikit kita sedang merajut harmoni beragama. Sebab apa lagi yang bisa dibanggakan dengan yang namanya beragama, jika kita tak kunjung bisa menghargai satu dengan yang lainnya.


Sumber Gambar: cendika.com


Kawan berfikirmu

0 comments:

Post a Comment