-->

Thursday, February 4, 2021

Surat yang Tak Meminta Balasan


"Aku hanya takut satu hal, dimana semuanya akan berantakan" katamu dengan terbata. 

"Tidak apa, sekali lagi ku katakan, tidak apa. Hidup nyatanya harus tetap berjalan, bukan?."

Percakapan kita berakhir malam itu. Setelah tegukan terakhir minuman mu, Kau berjalan mantap keluar pagar rumahku sambil mengucapkan janji bahwa mungkin sesekali kau akan mengabari tapi tak berjanji mengisi hari-hari seperti sebelum hari ini.


✵✵✵


Akhirnya pekerjaan ku selesai dan disambut langit sore yang pekat sekali. Nampaknya memang sudah masuk musim penghujan. Seminggu terakhir kota ini harus rela mandi berkali-kali siang dan malam. Genangan air muncul sana sini siap membiaskan lampu kota. Bagi Aku sebagai pejalan kaki,  genangan itu menjelma sebagai momok yang menakutkan tak kala pengguna jalan dengan entengnya melaju kendaraannya dengan kecepatan yang tak terkira adanya. Tolonglah, mari menjadi manusia yang bisa mengerti, bahwa hidup tidak selalu menuruti ego sendiri.

Aku berjalan pulang sembari menenteng payung yang telah menjadi sahabat pergi dan pulangku. Jarak rumah dengan tempat kerjaku lumayan dekat, hanya terpisah satu jalan raya dan dua gang. Oh iya, mari kuperkenalkan Aku Galuh, perempuan  kasat mata yang mengabdikan hidupnya bergelut dengan buku dan debu-debu di gerai kecil distributor buku dipersimpangan jalan kota ini, "Akar Rumput" namanya. 

Akar rumput tumbuh berkat aku dan dua kawan yang tetap semangat memupuk dan merawat cinta literasi ditengah menggilanya serangan gawai. Bagi sebagian orang mungkin mengganggapnya sesuatu hal yang bodoh, dimana sekumpulan sarjana lebih memilih merawat toko yang tidak punya keuntungan berlebih dibanding bekerja di sebuah perusahaan besar layaknya cita-cita anak sekarang. Mereka lupa bahwa gelar sarjana tidak berlaku bagi mereka yang mengejar mimpinya dengan tidak kebanyakan harapan orang-orang. Kalau begitu, mengapa harus rela mengejar kata sarjana? dari suara lainnya. Proses belajar tidak hanya tentang gelar, kami pun mendapatkan kesadaran mengahdirkan akar rumput dari proses menjadi mahasiswa. Ah sudahlah, kita hidup bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain.

Saat baru saja berjalan, aku menyaksikan di balik kaca cafe, dua sepasang manusia saling melempar tawa, berbagi cerita sembari menikmati minuman berdua. Lantas aku mengingat seseorang yang tak ingin ku hadirkan. Suasana sore ini memang semakin mendukung kenangan-kenangan itu muncul kembali, kenangan tentang ia yang tak lagi ku ketahui kabarnya kini. Hujan akhirnya turun. Dengan cepat ku rentangkan payungku dan tergesa-gesa mengambil langkahku.


 ✵✵✵


Sesampai di rumah, ibu sedang membuat hidangan makan malam kami berdua. Ibu termasuk wanita yang sangat menikmati perannya di dapur. Entah berapa banyak resep masakan telah dibuat olehnya. Berkat kemampuannya ibu acap kali dimintai sebagai juru masak saat berlangsungnya berbagai hajatan.

"Luh, beberesnya cepet ya nak, baru kita makan"

"Iya bu, laper juga nih aku" sambil melangkah menuju kamar

"Eh, tunggu. Tadi sore ada temenmu yang dateng ke rumah, bawain kue kesukaan ibu, sama dia nitip surat  untuk Galuh". 

Sambil mengernyitkan dahi aku menjawab 

"Surat? Siapa bu?"

"Haduh ibu lupa nanya namanya, pokoknya dia wes ganteng" sambil menyodorkan surat itu kepadaku.

"Duh ibuu" sambil ku mantapkan langkahku meninggalkan dapur.


✵✵✵


Untuk Galuh


Dirimu, yang selalu kuharap baik-baik saja. Maaf, lagi-lagi aku masih menunjukkan sikap pengecut sebab hanya lewat surat ku sampaikan permohonan maaf terlebih bukan diriku yang membawanya langsung kepada mu. Sebab nyatanya nyaliku senantiasa ciut untuk menghadirkan sosoknya yang telah lama asing di kehidupanmu. 


Aku baik-baik saja jauh lebih baik dibanding saat Aku melangkah pergi malam itu. Ah, mungkin kabarku pun juga tidak penting bagimu sekarang.

Dengan ini Aku hanya ingin berterimakasih dengan sedalam-dalamnya rasa dan ucapan. Aku tak pernah menampik akan peranmu membentukku sampai di titik ini. Sebagai sosok yang selalu mendukung setiap langkahku kaulah penentu atas setiap hal yang kucapai. Pun kaulah menjadi alasanku untuk selalu bertahan atas apa yang aku hadapi. Kau pernah mengatakan kepadaku, bahwa kau tak akan pernah jatuh cinta dengan apa yang aku bawa kecuali kegigihan ku meraih sesuatu sebagai seorang laki-laki. Apapun yang aku punya tetap itu tiada artinya bagimu jika bukan dari tanganku sendiri, kan?. Dan tentu saja kau paham, bahwa itu alasan terkuatku ingin meraih impianku. 


Kau yang dulu selalu siap kusibukkan membantuku menyediakan segala macam perlengkapan ku, membantuku memilih kata yang tepat untuk menjawab proses wawancaraku, untuk pekerjaan yang kau tau dari dulu adanya bahwa itulah yang ku harapkan selalu. Bukan hanya itu Galuh, handphone ku akan selalu sibuk kala pagi menyingsing membangunkan ku padahal aku masih ingin menikmati waktu. Pun saat keluar pengumumannya, kau berdiri dengan mata berkaca-kaca dan memandangku lamat-lamat bahwa Aku berhasil. Namun nyatanya bahagia dan kesedihan memang punya waktu yang berdekatan, sampai kabar bahwa aku harus ditempatkan di pulau seberang. 


Setelah kepergianku malam itu perasaan ku kacau, pikiran ku kalut. Dan seperti kau tau beberapa kali Aku mengadu kepadamu tentang bagaimana hariku, namun ku rasa balasanmu dari hari ke hari semakin hambar, sesuatu telah pudar, kita semakin tak mengenali satu sama lain. Dan di saat itulah Aku memutuskan untuk menyudahi. Maaf jika itu hanya dari sisiku saja, aku cukup mengambil kesimpulan dari bagaimana cara kau menyambutku.


Sebagai insan yang semakin bertumbuh dewasa Galuh, Aku patut membuktikan satu hal, bahwa Aku berani mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah ku sendirian sekarang. Tapi Aku lupa sebagai insan dewasa Aku juga butuh seseorang yang selalu di sampingku, sebagai pelengkapku. 


Galuh, Kita sudah begitu jauh, bukan hanya pada jarak, pun juga pada perasaan yang sulit menggenggam. Layaknya sebuah perangkat, Kita berdua berjalan begitu stagnan. Tidak ada lagi ruang untuk memperbaiki segalanya. 


Lewat surat ini ku sampaikan kepadamu yang pernah hadir dalam kehidupanku, bahwa aku  tidak lagi sendirian. Sebelumnya, aku tetap bertanya-tanya tentang perasaan ku, sampai ku putuskan, bahwa aku telah memberinya kepada orang lain. Sesaat setelah kau membacanya, altar agung telah menyambut ku, menjadikan aku dan dia menjadi Kami. Seseorang telah menjelma bagian dari diriku Galuh, bagian dari tanggungjawabku sekarang. 


Seperti yang kita ketahui, bahwa tempat kita berpijak juga tidak begitu luas. Mungkin satu dua kesempatan kita akan bertemu kembali, tapi dengan perasaan yang tidak lagi sama. Aku paham dan sangat yakin kau perempuan yang tau inginnya sendiri. 


Terima kasih atas segalanya. Sehat selalu Galuh, pun juga Ibu dan bapak mu. 


Dari aku, Theo

2021


Tanpa ku sadari sebongkah air mata jatuh dari pelupuk mataku. Di tepi ranjang, aku menikmati perasaan sesak dihunus berkali-kali entah itu apa. 


✵✵✵


Di meja makan, ibu menikmati makan tanpa banyak bercakap seperti biasa. Mungkin ibu ingin bertanya tentang surat itu, sudah ku baca, dari siapa, perihal apa, tapi ibu menahannya. 

"Aku rindu Bapak bu" ucapanku tegas menghilangkan keheningan.

Setelah sekian detik ucapanku menggantung, Ibu lalu menjawab,

" Ya wes, besok gak usah ke toko. Kita beli bunga buat Bapak ya". 

Ibu senantiasa tau perasaan ku yang tak perlu kujelaskan. Setiap kali Aku menyebut Bapak sesuatu pasti telah terjadi. 


✵✵✵


Aku menjalani malam terpanjang untuk kedua kalinya hari ini, sama pada saat itu. Aku mungkin tidak cukup baik dalam mencintainya. Aku mungkin tak cakap mengenali inginnya. Tapi Aku tetap harus melangkah, tidak kokoh sesaat pun tak apa. Rasa ini juga harus kelewati dengan cara yang baik. Seperti biasa, hidup nyatanya harus tetap berjalan.

Perasaan memang berbeda dengan buku di emperan toko, merusak buku berarti membeli, merusak perasaan kau tak wajib memperbaiki.

I lost you, but I found me, so I win.



⚞The End⚟




Pic: Pinterest



 

Kawan berfikirmu

4 comments: