-->

Sunday, November 7, 2021

Kehilangan sebelum Kepemilikan

Aku kehabisan opsi atau mungkin tidak mengerti apa yang musti aku tulis. Atas semua ekspektasi dan sekadar hanya ilusi-ilusi yang semakin ingin dimuntahkan untuk keluar dari isi kepala. Kalau pada akhirnya kita memilih menang atas segala ketidakberdayaan dan jujur pada perasaan, percayalah pada setiap perpisahan akan ada satu  yang berat meninggalkan.


Aku tau ada yang tidak beres dalam bagaimana cara kita menghabiskan setiap waktunya. Namun aku menolak berpikir, menolak disuruh berpikir, menolak mencari tahu letak dimana kesalahan itu bisa kita perbaiki. Anehnya, aku hanya bisa menerima mentah-mentah segala hal, semuanya, sebab aku merasa cukup tentang semua yang sudah kita sepakati diawal, tentang perasaan yang tidak lagi terbantahkan. Maaf, sekali lagi maaf, jika caraku mencintaimu hanya sebatas keinginanku saja yang tak pernah bisa memuaskan mu.


Jikalau semua harapan bisa dipastikan dan prasangka-prasangka buruk masih bisa kita tepiskan, aku merasa jauh sangat beruntung. Tapi ini tentang dua sisi, dimana masing-masing versi berhak untuk didengarkan. Aku paham. Kau dengan segala harapan dan cerita bahagia lengkap dengan perasaan-perasaan yang tidak berkesudahan itu, aku hanya ingin mencatatnya sebagai sejarah yang sudah tersusun sangat rapih. Sebab aku percaya bahwa ada alasan mengapa Tuhan mempertemukan kita sampai saat ini. Baik hanya untuk saling mengajarkan persamaan, mengenali perbedaan, menghitung "printilan-printilan", termasuk diantaranya juga perpisahan.


Sejauh ini Aku merasa sangat bangga menjadi sosok yang tidak pernah banyak menuntut dalam menjalani hubungan. Menuntut pertemuan, membredeli percakapan, meminta pemberian, dan segala hal lainnya, menyodorkan cerita bahagia dan kesedihan-kesedihannya. Aku merasa telah membuat sepatu apapun, kiri dan kanan iri.  Namun bodohnya ternyata kebanggaan itu adalah bagian dari kelemahan yang aku ciptakan sendiri, yang aku hadirkan tepat dihapanmu yang ternyata tidak ingin demikian. 


Aku ingin berbicara tentang perasaan yang selama ini aku miliki, bahwa ia telah tumbuh kokoh layaknya bangunan tua yang tidak lapuk dimakan usia, layaknya benih telah  menumbuhkan pohon kuat nan rimbun daunnya. Dan perihal ini aku telah jujur menyatakannya. Namun, setelah semuanya aku tidak berharap bertemu denganmu lagi, dengan atau tidak dengan sosok pembawaanku yang seperti ini. Sebab, apa lagi yang bisa kita lanjutkan, jika yang kau inginkan adalah apa yang tidak pernah berhasil untuk kuusahakan.


Jujur, aku ingin lelah dicap tidak berusaha atas segala hal tentang kita. Tentang semua keinginanmu dan segala pengharapan. Aku terlalu santai untuk menanggapi apa-apa yang seharusnya matang untuk kita rundingkan. Aku juga ingin tertampar atas pertanyaan, hubungan seperti apa kiranya jika setiap hari-hari penting dan segala pencapaian tidak ada aku ataupun kau di dalamnya?, tidak mengerti apa yang kau lalui setiap harinya, tidak tahu apa-apa yang telah kau rencanakan. Aku ingin disalahkan. 


Perihal setiap cerita bahagia baik aku maupun kau, itu semua masih bisa kita hitung jari. Selama dan sejauh apapun hubungan yang pernah kita rakit, kita masih bisa mengingat momen-momen apa yang bisa kita putar kembali. Namun aku tidak menyangkal, perpisahan adalah momen yang acapkali kita ciptakan. Kita pernah begitu jauh berlari berlawanan arah, dimana pertemuan adalah kemustahilan untuk dihadirkan. Namun setelahnya adalah perasaan seperti setiap detiknya hanya terasa menunda perjalanan kehidupan. Tapi, aku kembali sebab aku telah menitipkan janji yang musti kupenuhi. Aku tidak ingin membohongi perasaanku sendiri bahwa aku masih ingin bertahan. Dimana aku tidak akan meninggalkan kau yang telah kutemui, bersama menatap dalam kaca-kaca air mata. Tapi sialnya, aku terlalu naif dan tidak pernah belajar bagaimana cara memahami.


Terkadang aku berpikir, ketika apa yang aku hadapi begitu berat untuk kutanggung sendiri dimana aku butuh sosok yang menawarkan bantuannya, kukabari letak keberadaanku lantas memacu motornya mendatangiku, membawaku berkeliling untuk melepaskan sedikit penat dan masalah yang ada, ketika bayangan semua isi dunia ini tidak memihak ku, atau sekadar harapan yang sekali lagi gagal kuwujudkan, dimana kupikir sosokmu-lah yang acapkali menjadi kompas terakhir yang akan aku temui. Namun, sekali lagi aku seringkali merasa ingin memilikimu, menyayangimu, mencintaimu, bukan karena semua itu, bukan dengan alasan-alasan itu. Aku akan segera paham bahwa itu tidak akan masalah bagimu, namun aku membantah segera,  bahwa perasaan ini terlalu luas untuk bisa kutuliskan. Ah, sekali lagi, mungkin aku hanya terlalu pandai memeluk dirinya sendiri.


Namun aku sadar ketika sandaran kursimu tidak lagi memberikan rasa nyaman, kau tidak usah susah payah mencari sudut yang sesuai untuk mengubah posisi dudukmu, cukup kursi itu yang harus kau ganti terlebih dahulu. Duka, luka, lara, dan segala hal yang menyesakkan untuk diingat juga punya batas. Apa-apa akan berdamai dan memeluk pengharapan baru untuk kembali dijalankan. Segala hal yang pernah kita janjikan, yang pernah kita rencanakan, silahkan untuk kita hilangkan dan tinggalkan di sini.


Aku tidak menampik bahwa aku masih takut. Sebab selama ini aku belum pernah benar-benar merasa kehilangan, ditinggalkan, dan melepaskan. Namun aku ingin meyakinkan, sudah sepatutnya melepaskan apa yang disebut "kita" dari isi kepala masing-masing. Setelah membaca berulang kali pesanmu, silahkan untuk melepaskan jerat, berhenti berharap, kau pantas mendapatkan eksistensi lain yang mampu memahamimu, bahkan jauh lebih baik daripada keberadaan ku dan segala hal tentang caraku.


Di sini, kau bisa menganggapku seperti apa setelahnya. Perihal keberadaanku kau akan selalu tahu dia dimana dan kabarku tentu saja kau akan selalu tau bagaimana. Namun tentu saja itu sudah tidak penting jika kau telah mampu melangkah dan mampu bersikap untuk mendengar nuranimu. Terkait kepergianmu, aku tidak pandai untuk memaksamu menetap, berharapmu bertahan, sebab aku tak pandai pula berjanji untuk menjadi partner seperti apa yang kau inginkan seperti yang sudah-sudah. Pada sisi harapanku untuk bertemu anggap saja tidak pernah aku minta. Kau adalah kehilangan sebelum kepemilikan itu sendiri.


Entah, apa lagi yang musti aku tuliskan. Aku hanya percaya bahwa doa tidak pernah menyediakan tanggal kadaluarsa untuk selalu dipanjatkan. Semoga kau dengan mimpi-mimpimu akan terus berjalan dan satu persatu kau genggam. Dan nanti, saat aku mendengar kau semakin bertumbuh hebat dan tempat semula yang menjadi milikku telah diisi orang lain, Aku akan tetap memilih bahagia. Sebab kau adalah sosok yang juga penting dalam aku menjalani kehidupan dan belajar atasnya. Mari, mari hentikan segala ucapan terima kasih dan saling mengucap maaf.


Kelak jika kau telah membaca tulisan ini, silahkan untuk lekas melupakannya, baik sebelum kau terlelap atau sesaat sebelum memulai harimu.





 

Kawan berfikirmu

0 comments:

Post a Comment