-->

Wednesday, February 9, 2022

Perempuan yang Mencintai Kebodohannya


Aku mencoba menuang beberapa hal yang semoga lebih melegakan ketika dituliskan, termasuk ini. Setidaknya untuk diri yang tidak kunjung menemui kata dewasa, yang selalu lari dari masalah dan hanya bisa meringkuk dan menyembunyikan apa-apa dengan senyum dan segala basa-basinya. Apa yang ku temui memang tidak biasa, yang semula kuharap berakhir dengan kembang api nyatanya menjadi bom bunuh diri. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya? Bahkan sejauh apapun diamku merenung, aku tidak pernah sampai pada jawaban yang lebih tepat atas segalanya. 


Aku ingin tahu semua tapi aku tidak punya daya untuk bicara. Sejak kapan, kenapa bisa, bagaimana mungkin? Apa-aku-memang-tidak-pernah-cukup?, bahkan ini adalah pertanyaan sering kali kulemparkan saat semuanya baik-baik saja. Jika iya, maka tulisan ini harus segera berakhir di sini. Tapi segala alasan klasik yang menggelitik tentu saja tidak bisa aku terima. Semua hanya bisa aku bungkus erat dan menerka sendiri jawabannya. Setidaknya, aku sudah melakukan apa yang sebaiknya benar untuk kulakukan: jangan pernah menghalangi langkah seseorang jika memang ia berniat untuk pergi meninggalkan.


Bahkan pada saat itu segala pedih yang kurasa masih harus ditumpahi lelehan bensin air mata, yang membuat apapun bentuk sandarku menjadi basah, tak terkecuali lengan baju, bantal tidur, termasuk kedua telapak tanganku sendiri yang rela membasuhnya berkali-kali. Seperti pisau yang tidak toleran menyayat pelan-pelan, seperti mesiu yang tak menunggu aba-aba untuk menyerang. Dia seolah ingin menunjukkannya tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Tidak perlu hitungan bulan kemudian bahkan aku harus hancur sendirian. Belum juga aku bisa mencerna perlahan maksud kepergian, langsung saja memperkenalkan seseorang sebagai trofi kemenangan. Apakah dia sebangga itu? Bahkan segala doa baik yang ditujukan kepadanya bersamaan harus kutuai dengan sakitnya. Maka tidak salah, jika segala peran antagonis dari semua cerita ini berhak aku benci. 


Hubungan ini bahkan tidak lagi terhitung satu dua hari, bukan satu dua bulan, bukan hitungan dua ruas jari angka tahun tapi begitu mudahnya menggantikan posisi. Untuk perasaan yang selalu aku jaga bahkan aku sendiri selalu menepis segala hal yang datang walau hanya menyapa. Namun, siapa yang sangka pada akhirnya segala bentuk percakapan yang pernah ada harus berujung kelu dan tanpa kata-kata. Jika memang aku adalah ketersesatan yang sudah selama ini dia pilih maka silahkan temukan jalan terang yang bisa menyuguhkan segalanya, dimana harapan dia untuk segera dapat ditemukan. 


Lantas apa yang harus kulakukan jika pada akhirnya dia berbalik arah dari sesuatu yang sudah dia pilih? Jika timbul rasa ragu pada pilihan yang sudah dia tentukan? Dengan segala luapan maaf yang lebih riuh dari perayaan libur lebaran? Apa memang ia tidak pernah punya pertimbangan yang cukup matang untuk dilahirkan?. Atau memang aku semudah itu?, Dilepas pergi maka pergi, diminta kembali maka kembali?. Bahkan ucapan terakhir kalinya masih terbayang dan mengambil sebanyak mungkin porsi dalam pikiran. Saat ini aku sedang mencaci maki dalam hati.


Maka pertanyaan yang bisa dilontarkan ialah, "dari sekian banyak kesalahan, kenapa yang ia pilih yang paling sulit dimaafkan?". Sebab, sampai detik ini aku tak tahu harus bagaimana dan seperti apa bahkan simpul yang tersisa berujung pada kalimat hampa. Aku hampir-hampir tidak mengenalinya, dia asing. Dia sosok yang tak pernah aku temui, jauh dari bayang-bayang yang pernah aku kenali. Dan memang dari segala macam opsi yang ada, tidak ada satupun keluar untuk bisa dipilih membela diri. Padahal, jika memang sudah tidak berniat berjalan di rel yang sama, aku tidak perlu dilukai terlalu dalam seperti ini. Apakah memang selama ini aku tidak pernah benar-benar hidup dalam kehidupannya?. Maka itulah sebenar-benarnya kematian.


Aku sudah bertahan sejauh mungkin, bahkan sampai saat ini aku adalah perempuan yang berteman setia kesedihannya. Aku tidak akan pernah lupa ketika permintaan pertama menjadi permintaan terakhir ku yang tidak akan pernah terwujudkan. Maka tak heran, salah satu pekerjaan paling merepotkan adalah memupuk harapan kepada seseorang. Sehingga dari sekian banyak pilihan, yang muncul adalah pilihan yang tidak pernah diinginkan: Aku kembali ke dalam diriku dengan membawa sisa kepingan kebodohan. Dan, menyediakan jawaban dari tembakan pertanyaan orang terdekat yang mengenali cerita ini adalah pekerjaan paling merepotkan setelahnya, berpura-pura merancang definisi berakhirnya cerita yang tentu saja tidak sesuai dengan plot yang ada dengan aku juga sebagai pihak yang salah.


Maka jika ia ingin terpuruk maka terpuruklah, sengsaralah sebisanya. Aku ingin ia merasakan juga rasa sesak namun tak pernah sebanding jika hanya bisa ku hantam dan kupukul tepat di dadanya. Dan segala aksaraku bukanlah rekayasa. Jika cerita ini dilukiskan seperti dongeng Cinderella, dengan pangeran berkuda putih bertarung telak dan datang dengan tatapan sayup tenang, membawa ketulusan cinta dan rasa bangga telah dimilikinya. Tapi, bagaimana denganku, yang selama ini berjumpa dengan sosok gagah perkasa yang begitu banyak hal yang bisa dibanggakan tapi lebih sering memendam rasa sakit dan rela menghianati daripada belajar mencintai dengan benar?


Tapi siapapun bisa bersepakat, BROKEN CRAYONS STILL COLOUR. Krayon yang patah atau hancur sekalipun, tetap mempunyai warna.
Bagaimana pun dia menyakiti seseorang bahkan berujung melukai dirinya, dia tetap menjadi pewarna dalam kehidupannya sendiri. Dan dari sekian banyak alasan untuk membenci, aku tidak pernah berhasil untuk mewujudkannya. Aku tidaklah seangkuh itu. Bahkan setiap kali diriku mencacinya, aku harus memperpanjang sayatan luka itu sendiri. Aku tidak bisa, aku tidak mampu. AKU TIDAK SANGGUP SEBAB AKU TERLALU MENYAYANGINYA MESKIPUN DENGAN SEMUA HAL YANG TELAH DILAKUKANNYA. 

Bodoh.


Maka aku hanya bisa meneruskan pesan dari seseorang yang ku hargai keberadaannya, "Jaga anak orang". Bahkan setetes air mata kepedihannya adalah hal yang paling dijaga kejatuhannya oleh mereka yang menyayanginya. Maka ku sampaikan, aku tidak bisa lagi mencintainya dengan tenang dan tanpa gusar. Segala yang ada sudah membuatku sangat lelah dan ingin saja mati rasa. Dan cerita kemarin mungkin pernah menjadi rancang rencana panjang tapi harus berakhir gamblang, kosong dan sia-sia. Tapi bersamaku kemarin, dia takkan temukan yang sebaik ini. Semoga.


Tulisan ini memang penuh kemarahan. Dipecundangi dan dibrengseki dengan tanpa cuma-cuma. Jika memang bukan hanya aku yang merasa tersakiti, maka itu bisa jadi sebenar-benarnya sudut pandang. Umpatan terakhir bahkan harus memperpanjang semuanya dan tak tahu kapan akan selesai. Sekali lagi, BODOH.


 

Kawan berfikirmu

0 comments:

Post a Comment